Realistis

Kamis, 22 Juli 2010

Dalam menjalani hidup kita pasti sering mengalami pasang-surut, dimana kadang-kadang kita dapat dengan mudah mendapatkan segala sesuatu yang kita inginkan, namun ada kalanya kita pun harus menelan pil pahit jika sesuatu yang kita inginkan tersebut gagal diraih. Hal tersebut merupakan wajar adanya karena roda kehidupan akan selalu berputar terus selama kita hidup di dunia ini.

Mungkin kamu semua sudah sering mendengar istilah “gantungkan cita-citamu setinggi langit”, tetapi apa jadinya jika cita-cita tersebut gagal diraih? Reaksinya bisa bermacam-macam, ada orang yang meskipun kecewa dengan besar hati menerima kegagalannya, kemudian berjuang kembali tanpa putus asa hingga cita-cita tersebut dapat tercapai, ada juga orang yang tidak dapat menerima kegagalan tersebut hingga pada akhirnya menyebabkan dia berputus asa begitu saja setelah tahu bahwa dirinya tidak berhasil. Lalu, bagaimana dengan saya?

Salah satu prinsip saya dalam menjalani kehidupan ini adalah berpikir dan bertindak realistis atau jika disederhanakan adalah “yang pasti-pasti aja”. Realistis dalam menghadapi kenyataan yang dihadapi, serta tidak memaksakan kenyataan tersebut harus terjadi dalam hidup jika memang tidak terjadi. Kesannya perbuatan ini seperti orang yang putus asa, padahal menurut saya tidak juga, karena putus asa ialah akibat dari “tidak bisa menerima kenyataan ”, sedangkan realistis adalah perwujudan dari sikap “sadar diri dalam menghadapi kenyataan”. Tidak berarti cepat menyerah, namun menurut saya jika kita memang tidak bisa mencapai hal kita inginkan hadapi saja kenyataan yang ada, mungkin memang belum rejeki kita kan? Kemudian kita juga harus menyadari sebesar apa usaha yang telah kita perbuat dalam mengejar yang kita inginkan apakah sudah maksimal atau belum? Salah satu contohnya adalah ketika saya mengikuti ujian masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN). kala itu saya sangat berharap dapat diterima di salah satu perguruan tinggi yang ada, namun ketika tahu bahwa saya tidak lolos ujian masuk PT tersebut kecewa, sedih, putus asa sempat saya rasakan, namun saya berusaha untuk introspeksi diri, mungkin usaha dan doa yang dilakukan belum maksimal, atau mungkin juga Allah mempunyai rencana lain. Pada akhirnya saya memilih untuk melanjutkan pendidikan di PT swasta, dan ternyata rencana Allah memang tidak pernah salah, karena PT tersebut memberikan beberapa “hal” yang saya inginkan. Jika saya kembali mencoba peruntungan di tahun-tahun berikutnya mungkin bisa saja lolos, namun saya memilih untuk tidak, karena saya cukup “sadar diri”.

Atas dasar itulah saya mulai berpikir untuk menghadapi setiap kenyataan yang terjadi secara realistis, karena ada juga keinginan yang rasanya “tidak mungkin” untuk dicapai. Sah-sah saja jika kita mempunyai cita-cita yang tinggi, namun harus juga diikuti dengan usaha dan doa yang sepadan, tetapi hal itu akan sia-sia jika tidak diikuti dengan kedua syarat tersebut. Nah, jika itu terjadi jangan menyalahkan kenyataan yang ada, hadapi saja kenyataan tersebut dan tidak usah memaksakan kehendak. Mungkin prinsip saya ini tergolong aneh dan ekstrem, namun begitulah adanya. Jujur, saya bukanlah seseorang yang gigih dalam mengejar hal-hal yang dirasa “tidak mungkin”. Namun bukan berarti saya tidak berusaha mengejar cita-cita yang tak tercapai tersebut, saya hanya “mengalihkan” cita-cita yang tak tercapai itu menjadi cita-cita lain yang dapat dicapai sesuai dengan kemampuan dan yang saya miliki.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

menyuruh anak bercita cita setinggi mungkin = pembodohan, liat dulu potensi/ kemampuan sebelum membuat keinginan

Fariz mengatakan...

betul sekali

Posting Komentar

Shout Here !